Telusuri

Pilihan Editor

Lebih Produktif Dengan Asus VivoBook S14 S433 Dare To Be You

Hidup tanpa batas bukan berarti hidup melampaui batas. Hidup tanpa batas adalah ketika melakukan aktivitas tanpa kesulitan dan hamba...

Sabtu, 06 Juni 2020

Pendidikan Karakter Tradisonal Adat Sunda, Batak, Jawa, Bugis, dan Madura


Big Dream: Anak-anak Berprestasi di Indonesia

Pendidikan karakter adalah sebuah upaya sektor pendidikan dalam menanamkan pengetahuan terhadap nilai-nilai karakter mulia manusia yang diharapkan mampu menimbulkan kesadaran. Kesadaran akan memicu kemauan untuk berperilaku dengan menjunjung nilai-nilai karakter mulia dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, orang lain, dan lingkungan hidup.

Diantara komponen penyelenggara pendidikan adalah sekolah, orang tua atau keluarga dirumah, dan lingkungan sosial. Pelaksanaan pendidikan karakter hendaklah dilakukan pada tiga komponen di atas. Sehingga pendidikan karakter tidak berhenti pada teori yang diajarkan di bangku sekolah. Jika pada masa usia sekolah itu adalah pembentukan, maka selanjutnya adalah proses pematangan karakter yang diselenggarakan di lingkungan sosial.

Seseorang dapat mengembangkan karakternya sendiri, berbeda dengan orang lain. Namun perlu diingat sebuah pepatah mengatakan, "berbeda daerah yang dikunjungi, berbeda juga langit yang meneduhi". Manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka perkembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan(Nopan Omeri, 2015).

Konsep Pendidikan Karakter Adat Indonesia
Siapa yang menduga bahwa konsep pendidikan karakter telah dirancang oleh para leluhur yang secara turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi. Adat Madura, Jawa, Sunda, Batak, dan Bugis ini menggambarkan kompleksitas konsep karakter yang diwariskan dari nenek moyang. 

Indonesia memang kaya dengan keberagamannya, termasuk dari keragaman suku dan adat istiadat beserta bahasanya. Konsep pendidikan karakter yang ditawarkan oleh beberapa suku di Indonesia berikut merupakan adat dan slogan-slogan yang telah diwariskan turun-temurun dalam membentuk karakter yang sesuai dengan lingkunagan sosial dan budaya setempat atau budaya yang berlaku.

1. Suku Sunda
Dalam adat sunda, prinsip dalam berperilaku adalah silih asih, silih asah, dan silih asuh. Silih asih merupakan prinsip interaksi sosial religius antara orang Sunda terhadap tuhan dengan penuh cinta kasih yang diinterpretasikan cintah kasih terhadap sesama. 

Silih asah merupakan karakter orang Sunda yang berusaha mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan kecerdasan yang bertujuan untuk melahirkan semangat ilmiah dalam mengembangkan diri dengan khazanah pengetahuan dan teknologi. Silih asah di iringi dengan bimbingan etis sehingga pengetahuan dan teknologi digunakan dengn bijak dan arif. 

Silih asuh menggambarkan kekeluargaan atau solidaritas masyarakat sunda yang ditandai dengan saling bertegut sapa, saling memberi perhatian, dan saling membantu. Sehingga silih asuh mampu membentuk ikatan emosional sesama masyarakat Sunda. Orang Sunda seharusnya mampu mencerminkan karakter berikut ini:

a. Teu adigung kamagungan (tidak somobong)
b. Titih-rintih, tara kajurung ku nafsu tertib, (tidak terjerumus nafsu)
c. Secangreud pageuh, sagolek pangkek, henteu ganti pileumpangan (kukuh pendirian)
d. Leber Wawanen (penuh keberanian-yang diseimbangkan dengan kepandaian)
e. Loba socana rimbil cepilna (panda membaca keadaan dan tipe pendengar masukan)


2. Suku Batak
Orang Batak sangat menjungjung demokrasi dan solidaritas, kerendahan hati dan menghargai tokoh masyarakatnya. Sebuah prinsip yang disebut "Dahilan na Tolu". Di mana orang batak harus saling menghargai tanpa memandang status sosial-ekonomi maupun pendidikan. masyarakat Batak menginterpretasikan demokrasi melalui musyawarah, yang disebut musyawarah kekeluargaan. 

Dalam musyawarah tersebut keputusan bersama adalah keputusan yang diterima. Masalah dalam musyawarah tidak boleh dibawa keluar, artinya tidak menyimpan dendam dalam hati dan bersikap profesional. Masyarakat Batak sangat memperhatikan kesejahteraan minoritas, minoritas harus senang agar mayoritas juga bisa senang. Pameo yang mengiringi kehidupan masyarakat Batak turut membentuk karakter mereka.

a. Disi tano nainganhon, disi sourp pinarsuhathon, artinya orang harus menerima beras menurut takaran umum di mana ia tinggal. Ini bermakna bahwa orang wajib mematuhi hukum dan adat istiadat di daerah yang menjadi tempat tinggalnya. 
b. Sada sangap tu ama, dua sangap tu ina, artinya satu penghormatan untuk bapak, dua penghormatan untuk ibu. Orang Batak sangat menghormati kedua orang tua yang telah membesarkannya.
c. Hotang hotari hotang pulogos, gogo ma mansari, na dungol do na pagos, artinya berusahalah sekuat tenaga sebab kemiskinan identik dengan penderitaan. Maknya, orang Batak adalah pekerja keras dan pekerja tuntas. 
d. Tusi tamu mangalagka, disi ma hamo dapotan, artinya ke manapu melangkah, di situ hendaknya kamu mendapat rezeki. Orang bata sangat percaya terhadap kebesaran Tuhan dalam menjamin kehidupan sehari-hari asalkan mau bergerak atau berkerja. 

3. Suku Jawa
Tata Cara Sungkem Idul Fitri dan Ucapan Dalam Bahasa Jawa dan ...

Karakter orang Jawa berlandaskan tiga prinsip yang disebut dengan Tri Rahayu. Pertama, mamayu hayuning salira, artinya hidup harus meningkatkan kualitas diri. Kedua, memayu hayuning bangsa, orang Jawa akan siap berjuang untuk bangsa). Ketiga, memayu hayuning bawana, masyarakat Jawa terus berusaha mencapai kesejahteraan dunia. Tri Rahayu ini saling berkaitan. Bahwa kesejahteraan dunia dapat terlaksana jika manusia di dalamnya memiliki kualitas dan unutk mendapatkan kesejahteraan maka harus melalui usaha-usaha.

Slogan-slogan yang terdapat pada pintu gerbang Pakualaman menggambarkan karakter orang Jawa, yakni wiwara kusuma winayang reka. Wiwara artinya terbuka, kusuma berarti berbudi luhur, winayang artinya sasmita (ilham), dan reka artinya pola pikir. Sehingga jika digabung, orang Jawa merupakan orang yang berbudi luhur yang selalu terbuka dan bijaksana.

Pintu gerbang Pangkualaman memiliki cermin yang di dalamnya bertuliskan guna, titi, purun. Guna artiya bermanfaaat. Maknanya orang Jawa harus bermanfaat bagi orang lain, baik dengan harta, ilmu, maupun tenaganya. Titi berarti jujur dan lebih mengerti. Maknanya orang Jawa adalah mereka yang mengetahui pokok-pokok masalah sehingga mampu menyelesaikan dengan bijak dan arif. Sedangkan purun, artinya berani dan mampu melakukan segala sesuatu yang berdampak baik.

Masyarakat Jawa memiliki perumpamaan atau ungkapan motivasi yang dipegang sebagai landasan dalam bertingkah laku, misalnya:
a. Desa mawa cara, negara mawa tata, artinya setiap tempat memiliki adat-istiadatnya sendiri yang harus dihormati dan dihargai.
b. Ngono ya ngono, ning aja ngono, artinya begitu ya begitu, tetapi jangan begitu. Maknanya dalam bertindak maupun berkata jangan berlebihan agar tidak mendatangkan keburukan.
c. Aja dumeh, artinya jangan mentang-mentang, jangan sombong, tidak menghina atau meremehkan orang lain.
d. Ada dina ada rupa, ora obah ora mamah, artinya ada hari ada nasi, tidak bergerak tidak makan. Maka setiap manusia harus berkerja keras setiap hari untuk mencari nafkah keluarga dan dirinya.

4. Suku Bugis
Adat Bugis mengenal istilah pangaderreng yang dimaknai masyarakat Bugis sebagai totalitas norma hidup yang bertindak sebagai acuan tingkah laku manusia dengan sesama dan pranata sosial secara seimbang. Dalam pergaulan sehari-hari, terdapat empat prinsip dalam berperilaku yakni, kasih sayang dalam keluarga, saling memaafkan, saling tolong menolong dan melakukan pengorbanan demi leluhur, dan saling memberi nasehat dalam mengambil keputusan.

Masyarakat Bugis masih memgang teguh ungakapan-ungkapan leluhurnya tentang karakter suku mereka, sebagai berikut:
a. Aju maluruemi riala parewa bola, artinya bahwa sifat pemimpin harus lurus. Hanya orang yang memiliki sifat lurus yang bisa menjadi pemimpin.
b. Ade'e temmakke anak' temmakke-epo, artinya adat tidak mengenal anak, tidak mengenal cucu. Maknanya sebuah hukum harus ditegakkan tanpa pilih kasih.
c. Ajak mapoloi olona tauwe, artinya jangan mengambil hak orang lain.

5. Suku Madura
Tempat Belajar Ngaji Ini Terpaksa Diubah Nama Menjadi Mushalla ...

Berbeda dari suku-suku sebelumnya, pada bagian Suku Madura, pembicaraan mengenai karakter dapat dilihat dari lagu daerah Madura. Pertama, lagu Pa Opa' Iling. Lagu ini menggambarkan bahwa masyarakat Madura sangat menjunjung tinggi agama Islam. Cerita teman seperantauan, orang Madura mengharuskan anak-anaknya mengaji ke surau dan mendalami ilmu pengetahuan.


Kedua, lagu Lir Saalar. Lagu ini berisikan nasihat untuk selalu berhati-hati dalam bertindak dan berkata. Selain itu juga agar berpikir jernih dalam mengambil keputusan. Ketiga, lagu Caca Aghuna. Lagu ini juga berisikan nasihat untuk berhati-hati. Namun lebih khusus untuk berhati-hati dalam berbicara. Dalam berbicara harus menggunakan tata krama atau pemilihan bahasa, sebab perkataan akan mendatangkan kehormatan atau justru keburukan.



Semoga bermanfaat,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar